Rabu, 15 Januari 2014

Ditemukan Prasasti yang mengungkap Ponorogo pusat Kerajaan Wengker

Sebuah prasasti dengan gaya tulisan Kediri Kwadrat yang menceritakan tentang perjalanan sejarah Kerajaan Kediri di era Panjalu sekitar abad X-XI, ditemukan di Dukuh Ngrenak Desa Ketro Kecamatan Sawoo Kabupaten Ponorogo.

Kondisi prasasti yang diukir di batu andesit hitam dengan tinggi 120 cm, lebar 70 cm dan tebal 17 cm itu sangat memprihatinkan, nyaris tidak ada perhatian dari pemerintah setempat. Oleh warga sekitar, tempat penemuan prasasti ini sangat dikeramatkan masyarakat menyebutnya watu tulis 'Mbah Krapyak'.

"Berdasarkan penelusuran kami dan dari berbagai keterangan, dahulu tempat batu berinskripsi di atas jalan sawah di tepi sungai desa. Namun karena abrasi pinggir sungai, maka sekarang batu berinskripsi tersebut jatuh di tengah sungai. Selama beberapa tahun, lokasi batu ini tertimbun pohon bambu yang roboh melintang dari seberang sungai," kata Novi Bahrul Munib, arkeolog asal Kediri yang juga menjadi Pamong Budaya Non PNS Kabupaten Sumenep pada merdeka.com di Kediri, Minggu (25/8).

Novi yang juga aktivis Pasak (Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri) ini akhirnya melakukan penelusuran. Sebab kondisi prasasti tersebut terbengkalai serta terguling di tengah Sungai Desa Ketro, dan terancam proyek saluran irigasi desa yang akan dimulai pelaksanaannya pada akhir Agustus 2013 ini.

"Tulisan tertutup lumut yang membuat karakter aksara sulit dibaca, dan harus dibersihkan terlebih dahulu dari lumut kerak," tambahnya.

Masih menurut Novi, melihat model pengukiran aksara dalam prasasti menggunakan gaya Kediri Kwadrat, sehingga memiliki gaya yang umum digunakan sekitara Abad X-XI Masehi.

"Prasasti ini memiliki arti khusus, terutama untuk mengungkap masa pemerintahan ri Maharaja ri Bamewara Sakalabuanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa dari Kerajaan Panjalu pasca Raja Airlangga. Maupun mengungkap keberadaan pemerintahan di sekitar lereng Gunung Wilis sebelah barat, dimana Ponorogo dipercaya pernah sebagai pusat Ibu Kota Kerajaan Wengker," jelasnya.

Lokasi prasasti di Kecamatan Sawoo, tidak jauh dari lokasi temuan Prasasti Sirahketeng dari masa Sri Maharaja Djigjayasastraprabu di Kecamatan Sambit.

"Semakin menarik untuk kajian sejarah kuno. Dimana diketahui saat Kerajaan Panjalu masih eksis, di wilayah Ponorogo pernah berdiri kerajaan lain pula. Sehingga diharapkan dengan temuan prasasti ini mampu memberi tambahan referensi untuk mengkaji sejarah sekitar abad XI," tambahnya.

Novi berharap, prasasti berangka tahun 1055 Saka ini segera diselamatkan, selain penting prasasti ini juga memenuhi syarat Kriteria Cagar Budaya sesuai Pasal 5 poin "a". UU Cagar Budaya No.11 Tahun 2010 (Pasal 5-10).

Menurut Novi, tahun 1055 Saka (sekitar 1133 M) merupakan masa pemerintahan ri Maharaja ri Bamewara Sakalabuanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa. Pada masa itu belum ditemukan data adanya kerajaan ataupun penguasa lain yang memerintah di Jawa bagian timur.

Pada masa Raja Bamewara sendiri, sedikitnya meninggalkan sembilan prasasti penting tentang perkembangan Jawa di bagian timur, yaitu:

1. Prasasti Pandlegan I berangka tahun 1038 aka (1117 Masehi) dari Desa Pikatan, Kecamatan Wonodadi, Kabupaten Blitar.
2. Prasasti Panumbangan I berangka tahun 1042 aka (1120 Masehi) dari Desa Plumbangan, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar.
3. Prasasti Gne I berangka tahun 1050 aka (1128 Masehi) dari Desa Brumbung, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.
4. Prasasti Candi Tuban berangka tahun 1051 aka (1129 Masehi) dari Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung.
5. Prasasti Tangkilan berangka tahun 1052 aka (1130 Masehi) dari Dukuh Tangkilan, Desa Padangan, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri (Wibowo, 2001: 9-16).
6. Prasasti Besole berangka tahun 1054 aka dari Dukuh Besole, Desa Demangan, Kecamatan Suruwadang, Kabupaten Blitar (Suhadi & Kartakusuma, 1996 : 24).
7. Prasasti Pagiliran berangka tahun 1056 aka dari Desa Jajar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar (Suhadi & Kartakusuma, 1996: 25).
8. Prasasti Arca Ganesha Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar berangka tahun 1056 aka namun tidak ada nama Rajanya.
9. Prasasti Bameswara koleksi Museum Airlangga berangka tahun 1057 aka. Temuan pada tahun 1983 di Garasi Otobus Murni Jaya Jl. Erlangga Kota Kediri.

Sebelumnya Prasasti Kediri Kwadrat sebelumnya telah ditemukan di dua tempat di Kabupaten Kediri yakni, prasasti yang dikenal dengan Prasasti Batu Tulis di di Desa Titik Kecamatan Semen dan Prasasti Bioro di Desa Bioro Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri.

Babad Banyumas Versi Kalibening


Babad Banyumas Kalibening merupakan naskah dan teks tertua. Babad Banyumas Kalibening memakai huruf Jawa yang berasal dari abad ke-17 Masehi dan kertas dluwang (bdk. Holle, 1877:6). Kertas yang dipakai berukuran 11 X 16 cm. Tebal naskah 60 halaman. Halaman-halaman pada bagian depan dan belakang hilang. Naskah tersebut adalah koleksi juru kunci makam Kalibening, Sanmuhadi. Kalibening ini berada tidak jauh dari makam pendiri Banyumas Adipati Warga Utama II di desa Dawuhan.
Selain usianya yang tertua, Babad Banyumas Kalibening memiliki keistimewaan, yaitu menyebut nama Adipati Wirasaba dengan gelar Ki Kepaguhan. Nama ini amat dekat dengan nama Bhre Paguhan, raja daerah bawahan Majapahit seperti yang disebut dalam teks Pararaton (Padmapuspita, 1966). Nama-nama binatang dipakai untuk nama orang, misalnya Patih Banteng, Gagak Minangsi, Kuntul Winatenan, Kebo Singat, dan Ra Kungkung. Adanya nama-nama di atas menunjukkan bahwa teks tersebut lebih tua daripada teks-teks lainnya. Kejawar, tempat tinggal Kiai Mranggi disebut dengan nama kunanya, yaitu Ajahawar. Nama Kepaguhan di Banyumas secara berangsur-angsur telah berubah menjadi Paguwan atau Paguwon.

Asal Usul Desa Kebarongan

Nama Desa Kebarongan yang terletak di wilayah Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas bukanlah nama yang asing bagi telinga warga Banyumas dan sekitarnya, bahkan di kancah nasional sekalipun nama desa ini cukup dikenal oleh berbagai kalangan.

Nama Desa Kebarongan cukup dikenal bukan karena di desa ini pernah ditangkap dedengkot teroris sekelas Abu Dujana pada tahun 2007 ataupun karena baru – baru ini ditangkap juga seorang terduga teroris bernama Imam Syafe’i, akan tetapi jauh – jauh hari sebelumnya desa ini sudah dikenal masyarakat luas, salah satunya karena di desa ini terdapat satu Pondok Pesantren yang telah berumur lebih dari satu abad, yaitu Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah atau PPMWI.

Adanya Desa Kebarongan tidak lepas dari perjuangan seorang ulama asal Prembun, Kabupaten Kebumen yang bermaksud mengembangkan agama Islam ke daerah barat. Dialah KH. Mohammad Habib, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Habib, orang yang pertama kali menginjakan kaki di hutan desa (Kebarongan).

Pada sekitar tahun 1840-an Kyai Habib beserta beberapa orang pengikutnya (santri) tengah dalam perjalanan berdakwah ke arah barat, setelah singgah di beberapa tempat, tibalah di sebuah daerah yang dipenuhi dengan pepohonan hutan lebat berawa – rawa yang konon tergolong angker.

Namun dengan keteguhan imannya, Sang Kyai dan santrinya tidak gentar bahkan tertarik untuk “babad alas” dan bermukim di daerah yang baru disinggahinya itu. Akan tetapi untuk babad alas kecil ini ternyata juga bukan hal yang mudah. Karena keangkerannya, di hutan berawa – rawa itu masih banyak bergentayangan makhluk halus dan dedemit yang setiap saat bisa mengganggu manusia.

Jalmamara Jalmamati, Sato Moro Sato Mati”, walau seangker apapun hutan yang jarang terjamah manusia itu, tidak menyurutkan niat Kyai Habib dan santrinya untuk babad alas. Keimanan dan ketauhidan yang kukuh menjadi senjata yang ampuh menaklukan hutan angker tersebut, hingga para mahluk halus dan para dedemit dapat dikalahkan dan tidak menggaggu proses babad alas.

Konon, setelah alas dibabad dan menjadi semacam pemukiman, kemudian Kyai Habib memberi nama daerah itu dengan sebutan “Teleng” karena daerah itu semula merupakan hutan rawa – rawa yang banyak airnya, dan bersamaan itu pula, Kyai Habib mendirikan sebuah Padepokan (Pondokan) untuk mengaji dan melakukan musyawarah.

Hari demi hari, Grumbul Teleng semakin ramai dikunjungi orang dan banyak pula yang mulai bermukim di daerah ini untuk berguru agama kepada Kyai Habib, dan keramaian ini menjadikan Grumbul Teleng berubah menjadi sebuah pemukiman yang padat dan layak menjadi sebuah desa.

Karena itu pada suatu waktu, Kyai Habib mengumpulkan para santri dan warga untuk memberikan nama desa yang bukan “Teleng”. Namun dari sekian kali pertemuan belum juga diputuskan nama apa yang tepat untuk desa itu, hingga kemudian Kyai Habib menceritakan sebuah pengalaman manakala beliau pertama kali melakukan babad alas.

Konon, menurut Kyai Habib pada saat pertama kali melakukan babad alas beliau mengaku sempat melihat perwujudan aneh, sejenis makhluk halus sebangsa dedemit yang berwujud seperti “Barongan” yang bermaksud mengganggunya. Atas dasar itu, kemudian peserta rapat menyepakati agar desa ini diberi nama “Kebarongan” yang berasal dari kata “Barong”.

Di Desa Kebarongan ini pula, Kyai Habib beserta para santrinya mendirikan masjid yang hingga sekarang ini dikenal sebagai Masjid Jami’ Kebarongan dan merintis padepokan (Pondokan) untuk pengajian yang kemudian sekarang ini menjadi Pondok Pesantren Wathoniyah Islamiyah (PPMWI) Kebarongan yang sebelumnya pada saat didirikan oleh Kyai Habib hanya bernama Pondok Pesantren Kebarongan.

Selain PPMWI, dari Kyai Habib inilah kemudian anak – cucu dan kerabatnya meneruskan dakwah dengan mendirikan pesantren dan madrasah yang lain, seperti PP. Hidayatul Mubtadi’in, PP. Darul Aitam, PP. Annur, MI Salafiyah, SMP Salafiyah, MI Tarbiyatul Athfal, MI Wathoniyah dan masih banyak lembaga pendidikan baik formal maupun non – formal yang berkembang di Desa Kebarongan.

Pondok Pesantren dan lembaga – lembaga pendidikan tersebut juga sama sekali tidak memiliki hubungan dengan jaringan terorisme di Indonesia, baik dari segi kesejarahan, maupun dari segi ideologi keagamaan yang dianut mayoritas masyarakat Desa Kebarongan. (Agam)

Ditemukan Candi Baru di Bedingin, Sleman



Sebuah candi ditemukan di sebuah perumahan yang baru dibangun di Bedingin, Mlati, Sleman, DIY. Penemuan bermula ketika seorang kontraktor akan membuat septic tank untuk sebuah rumah, belum lama ini. Dia menemukan beberapa batu yang diduga reruntuhan candi. Temuan tersebut kemudian dilaporkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Mlati.

Kontraktor menemukan batu candi kemudian dilaporkan ke penampungan melati dan langsung kami survei. Dari survei memang itu batu-batu candi dan kita aman di Mlati, ujar Anjar Nugroho, Staf Perlindungan BPCB Yogyakarta, Jumat (15/11) di lokasi penemuan candi. Setelah dilakukan analisis oleh tim BPCB dan Jurusan Arkeologi UGM, dipastikan bahwa temuan tersebut adalah candi. Setelah itu barulah ditindaklanjuti dengan melakukan penggalian pada 11-22 November.

Kami masih melakukan penggalian dan mencari data-data untuk menentukan struktur candi baru, dan sampai hari ini data yang didapat baru sebatas menemukan reruntuhan batu candi, jelas Anjar. Pantauan terlihat reruntuhan candi terdiri dari batuan andesit yang terdapat ukiran pada permukaannya dan batu bata merah yang mungkin menjadi bagian dari candi.
Sejauh ini sudah 19 batu yang diamankan oleh BPCB untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
Kami masih terus melakukan penggalian, sampai menemukan tanah budaya atau tanah dasar candi, setelah itu baru bisa menentukan struktur candi, dan bisa melihat pada masa apa candi ini dibangun, lanjut Anjar.

Biografi Hartini Soekarno

Menurut John D.Legge, ada tiga perempuan yang paling berpengaruh dalam periodisasi hidup Sukarno. Selain Sarinah dan Inggit Garnasih, setelah revolusi Indonesia, perkawinan Sukarno dengan Siti Suhartini (Hartini) telah membuka fase baru yang lebih mantap baik dalam kehidupan pribadi maupun politiknya. Hartini di masa itu mampu menjadi daya psikohistoris bagi Sukarno. Perkawinan Sukarno dengan Hartini, yang dilaksanakan dalam waktu kritis, telah menyediakan bagi Sukarno sebuah sumber kekuatan baru. Sekurang-kurangnya Sukarno sendiri mempertalikan keberanian dan keteguhan hatinya dalam menyelesaikan kemelut di pertengahan hingga akhir dasarwarsa 1950-an itu dengan bantuan kasih sayang yang diberikan Hartini kedapanya. Sejak saat itu, Sukarno sering menunjukkan kepercayaan diri yang kadang-kadang tidak dimilikinya. Sebagai istri, Hartini mulai berkembang secara politik. Ia berusaha keras melayani Sukarno sebaik-baiknya dan sekaligus menjadi teman pembantu politiknya, suatu usaha-yang menurut Legge-tidak pernah dilakukan oleh Fatmawati. Epilognya, Hartini mampu memberikan perannya sebagai ibu, kekasih, dan teman setia dalam kehidupan pribadi maupun perjuangan politik Sukarno.Buku ini mengungkapkan lika-liku kehidupan Hartini, yang memiliki daya tahan yang demikian kuat atas terpaan kritik, bahkan cercaan atas keputusannya untuk menerima-atau membalas-cinta Bung Karno. Setelah menjadi istri dari Sukarno, Hartini berusaha untuk memenuhi tugasnya, sebagai seorang perempuan, yang menjadi istri dari Sukarno, Hartini berusaha memenuhi tugasnya, sebagai seorang perempuan, yang menjadi istri dari seorang besar sebagai politikus negarawan. Dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, Hartini menjadi saksi dalam detik-detik menentukkan kehidupan politik Sukarno; mulai Demokrasi Terpimpin, G30S, Supersemar, kejatuhannya, menjadi tahanan rumah sampai dengan kematiannya. Kesemua hal di atas menjadi bagian dalam narasi buku ini.

Kerangka Manusia Purba di Goa Harimau diyakini Nenek Moyang Indonesia



Museum purbakala Si Pahit Lidah di Desa Padang Bindu Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, menambah koleksi barang purbakala dengan ditemukannya 20 kerangka manusia purba.
"Koleksi itu sendiri agar masyarakat mendapat kesempatan untuk melihat dan meneliti kerangka manusia kuno temuan dari Goa Harimau yang berupa replika," kata Kepala Dinas Pemuda Olahraga Budaya Pariwisata (Disporabudpar) Ogan Komering Ulu (OKU) Aufa S Sarkomi dilansir dari Antara, Jumat (3/12).
Aufa mengatakan, museum purbakala Si Pahit Lidah mendapat tambahan koleksi baru berupa kerangka manusia purba yang ada di dalam Goa Harimau sebanyak 20 kerangka.
"Kerangka-kerangka ini hanyalah replika dari kerangka asli berada di dalam Goa Harimau. Semua ini hasil dari pengembangan tim arkeologi nasional yang sekarang masih menggali dan melakukan penelitian atas kubur massal di dalam Goa Harimau diyakini sebagai nenek moyang Indonesia," katanya.
Menurut dia, pembuatan replika kerangka manusia purba merupakan program Disporabudpar Kabupaten OKU berupa kegiatan pelestarian dan pengembangan serta peningkatan sejarah purbakala dikerjakan tenaga ahli, yakni Prof Dr Truman Simanjuntak dari Balitbang Arkenas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
"Menjaga dan melindungi temuan asli kerangka manusia kuno dari Gua Harimau dengan cara membuat duplikat atau replika. Masyarakat mendapat kesempatan untuk melihat dan meneliti kerangka manusia kuno. Mengajak masyarakat untuk mengenal peninggalan sejarah budayanya sehingga akan meningkatkan kecintaan terhadap budaya daerah," ungkap Agung.
Ia berharap, dengan adanya sejumlah koleksi baru di museum Si Pahit Lidah akan memberikan dampak positif bagi kelestarian sejarah dan budaya. Sehingga para generasi muda akan lebih mengetahui tentang sejarah purbakala yang ada di Bumi Sebimbing Sekundang.
"Kita harapkan museum Si Pahit Lidah akan diminati oleh masyarakat OKU. Tersedianya replika benda-benda peninggalan sejarah yang terbuka untuk umum untuk kepentingan rekreasi dan ilmu pengetahuan," katanya.

Konfil di Balik Proklamasi





Pembacaan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945 bukan peristiwa yang terjadi secara kebetulan.Peristiwa itu juga bukan terjadi sebagai hadiah dari Jepang. Proklamasi Kemerdekaan merupakan klimaks dari rangkaian perjuangan para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana lika-liku perjalanan bangsa di sekitar peristiwa Proklamasi Kemerdekaan ? Konflik dan intrik apa saja yang tejadi di antara para pejuang kemerdekaan di saat-saat terakhir,khususnya pada saat penyusunan teks proklamasi,di malam panjang menjelang pagi tanggal 17 Agustus 1945 ?
Apa saja yan dibicarakan dalam rapat-rapat BPUPKI dan PPKI ? Apa benar kemerekaan Indonesia sebetulnya hanya hadiah dari kaisar Jepang; atau malah sebaliknya? Hal itu justru merupakan hasil kalahan Jepang dari Sekutu.Apa kata saksi-saksi sejarah yang terlibat langsung dalam peristia detik-detik Proklamasi Kemerdekaan ? Apa pula peran massa rakyat,yang merupakan "sekrup-sekrup" kecil yang bergelora dalam semangat untuk mempertahankan Indonesia merdeka ?

Jumat, 10 Januari 2014

Sejarah Munculnya Reog Ponorogo


Banyak sekali cerita yang muncul seputar asal usul munculnya reog. Namun dari semua cerita yang beredar, yang paling terkenal adalah cerita mengenai pemberontakan Ki Ageng Kutu. Ki Ageng kutu merupakan seorang abbdi dari kerajaan pada masa Bhre Kertabumi, yang merupakan raja dari Majapahit yang terakhir dan berkuasa pada abad ke-15. Ki ageng Kutu murka melihat tingkah laku raja yang terpengaruh oleh teman yang berasal dari negara China. Karena pengaruh kawannya yang sangat kuat tersebut Sang Raja menjadi melalaikan tugasnya sebagai kepala negara sehingga kerajaan menjadi sangat korup. Di lain pihak, Ki Ageng Kutu merasa bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit akan segera berakhir .
Dengan berbekal tekad yang teguh akhirnya beliau meninggalkan sang raja dan mendirikan sebuah perguruan lalu mengajarkan seni beladiri, ilmu kekebalan diri dan ilmu kesempurnaan dengan harapan agar kaum muda dapat menjadi bibit yang berbobot dalam kebangkitan kembali kerajaan Majapahit kelak.
Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bhre Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog terdapat topeng Singo Barong  yang merupakan simbol dari raja Bhre Kertabumi.yang di atasnya di tancapkan Bulu - bulu burung Merak yang menyimbolkan kuatnya pengaruh para bala china nya yang mengatur segala gerak dan tingkah lakunya.
Menarik bukan sejarah kesenian Reog Ponorogo. Ternyata dibalik keindahan gerakan tari dan ornamennya tersimpan makna filosofis tentang perjuangan melawan raja yang korup. Sungguh kesenian Reog Ponorogo merupakan salah satu budaya warisan leluhur bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya.